Hukum Memakan Daging Qurban

 Assalamu 'alaikum Warahmatullah Wabarokatuh,

Semoga Ustadz dalam keadaan sehat wal afiat sekeluarga. Amin.

Saya punya sebuah pertanyaan yang cukup membingungkan, yaitu apa hukum memakan daging hewan qurban, bila telah lewat dari hari tasyrik, apakah boleh atau tidak boleh?

Dan bagaimana pula hukumnya bila daging yang disembelih di Hari Raya Idul Adha itu tidak habis dimakan selama hari Tasyrik, apakah sah penyembelihannya?

Pertanyaan seperti ini berangkat dari sebuah hadits yang shahih dimana Nabi SAW pernah melarang menyimpan daging hewan udhiyah lebih dari tiga hari.

Lengkapnya teks hadits itu sebagai berikut :

مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ

Siapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga. (HR. Bukhari).

Bagaimana cara yang benar bagi kita untuk memahami hadits yang ini, ustadz?

Demikian dan terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban:
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang kalau kita membaca hadits sepotong-sepotong dan terburu-buru menarik kesimpulannya tanpa melakukan cek, recek dan croscek, bisa saja kita terjebak dengan kesimpulan yang kurang tepat.

Dan faktor kesalahan sebagian besar kita dalam hal ini bukan karena tidak berdalil dengan hadits shahih, melainkan karena kekurangan dalil alias hanya membaca satu dua dalil, itupun hanya sepotong-sepotong. Ditambah lagi tidak mau merujuk kepada kitab-kitab fiqih yang telah digoreskan oleh para ulama yang ahli dalam istimbath hukum.

Akibatnya banyak fatwa yang kurang tepat dan terkesan terburu nafsu untuk berfatwa. Padahal kalau kita selami hadits di atas, kita dengan mudah akan menemukan jawabannya.

1. Larangan Sudah Dihapus

Jawaban atas pertanyaan ini mudah saja, bahwa larangan itu sifatnya sementara saja, dan kemudian larangan itu pun dihapus.

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama atas dihapuskannya larangan ini, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar di dalam kitab Al-Istidzkar.

Memang benar bahwa di jalur riwayat dan versi yang lain, disebutkan bahwa Ibnu Umar radhiyallahuanhu tidak mau memakan daging hewan udhiyah, bila sudah disimpan selama tiga hari.

عَنْ سَالِمٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ  أَنَّ رَسُولَ اللهِ  نَهَى أَنْ تَأْكُلَ لُحُوْمَ الأَضَاحِي بَعْدَ ثَلاَثٍ . قال سالم : فَكَانَ ْبنُ عُمَرَ لاَ يَأْكُلُ لُحُوْمَ الأَضَاحِي بَعْدَ ثَلاَثٍ

Dari Salim dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW melarang kamu memakan daging hewan udhiyah yang sudah tiga hari. Salim berkata bahwa Ibnu Umar tidak memakan daging hewan udhiyah yang sudah tiga hari (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam Fathul Bari mengutip penjelasan Asy-Syafi’i, beliau menyebutkan bahwa kemungkinan Ibnu Umar belum menerima hadits yang menasakh larangan itu.

Dihapusnya larangan ini termasuk jenis nasakh atas sebagian hukum yang pernah disyariatkan. Sebagaimana dihapuskannya larangan untuk berziarah kubur.

Memang kalau membaca potongan hadits di atas, seolah-olah kita dilarang untuk menyimpan daging udhiyah lebih dari tiga hari.

Tetapi kalau kita lebih teliti, sebenarnya hadits di atas masih ada terusannya, dan tidak boleh dipahami sepotong-sepotong. Terusan dari hadits di atas adalah :

فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »

Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”(HR. Bukhari)

Jadi semakin jelas bahwa ‘illat kenapa Nabi SAW pada tahun sebelumnya melarang umat Islam menyimpan daging hewan udhiyah lebih dari tiga hari. Ternyata saat itu terjadi paceklik dan kelaparan dimana-mana. Beliau ingin para shahabat berbagi daging itu dengan orang-orang, maka beliau melarang mereka menyimpan daging, maksudnya agar daging-daging itu segera didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Tetapi ketika tahun berikutnya mereka menyimpan daging lebih dari tiga hari, Rasulullah SAW membolehkan. Karena tidak ada paceklik yang mengharuskan mereka berbagi daging.

Dalam hadits di atas juga dikuatkan dengan hadits lainnya, sebagai berikut :

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِى فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ فَكُلُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.” (HR. Tirmizi)

2. Larangan Tidak Berpengaruh Pada Penyembelihan

Selain itu yang perlu juga dipahami bahwa kalau Nabi SAW melarang menyimpan lebih dari tiga hari, bukan berarti daging itu menjadi haram, juga bukan berarti penyembelihannya menjadi tidak sah.

Sebab ritual ibadah udhiyah ini intinya justru pada penyembelihannya, dan bukan pada bagaimana cara dan waktu memakan dagingnya.

Ekstrimnya, bila seseorang telah melakukan penyembelihan dengan benar, sesuai dengan syarat dan ketentuannya, maka ibadahnya telah sah dan diterima Allah SWT secara hukum fiqih. Ada pun urusan mau diapakan dagingnya, tidak ada kaitannya dengan sah atau tidak sahnya penyembelihan.

Dahulu di Mina, tepatnya di tempat penyembelihan hewan (manhar), ada ribuan hewan ternak yang disembelih di Hari Raya Idul Adha, lalu dibiarkan begitu saja tubuh-tubuh hewan itu, tidak dimakan dan tidak pula diurus oleh panitia macam di negara kita. Lalu tubuh-tubuh hewan itu pun membusuk, sebagiannya dimakan hewan-hewan pemakan bangkai. Dan sebagiannya mengering atau terkubur di pasir menjadi tanah dan debu.

Apakah ritual ibadah para jamaah haji itu sah? Jawabnya sah. Apakah diterima Allah? Jawabnya tentu saja diterima. Lalu kenapa dagingnya ‘dibuang’ begitu saja? Jawabnya karena yang menjadi titik pusat dari ritualnya hanya sebagai penyembelihan, bukan bagaimana membagi daging itu kepada mustahik, sebagaimana dalam syariat zakat.

Sunnahnya, daging itu dimakan sendiri sebagian, lalu sebagiannya dihadiahkan, dan sebagian lainnya, disedekahkan kepada fakir miskin. Tetapi semua itu sunnah dan bukan syarat sah. Berbeda dengan zakat, zakat harus disampaikan kepada para mustahik dengan benar. Bila diserahkan kepada mereka yang bukan mustahik secara sengaja dan lalai, maka zakat itu tidak sah hukumnya.

Daging hewan qurban, hukumnya boleh dimakan kapan saja, selagi masih sehat untuk dimakan. Sekarang di masa modern ini, sebagian umat Islam sudah ada yang mengkalengkan daging qurban ini, sehingga bisa bertahan dengan aman sampai tiga tahun lamanya. Dan karena sudah dikalengkan, mudah sekali untuk mendistribusikannya kemana pun di dunia ini, khususnya buat membantu saudara kita yang kelaparan, entah karena perang atau bencana alam.

Walau pun afdhalnya tetap lebih diutamakan untuk orang-orang yang lebih dekat, namun bukan berarti tidak boleh dikirim ke tempat yang jauh tapi lebih membutuhkan.

Jadi silahkan saja memakan daging qurban, walau pun sudah tiga tahun yang lalu disembelihnya, yang penting belum melewati batas kadaluarsa.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA | Rumah Fiqih Indonesia

0 komentar:

 

Hewan Qurban Online © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme